Jika dikatakan sebagai palu gada, memiliki akun instagram dan situs web publik dapat dikatakan instansi maupun organisasi tersebut telah eksis secara digital. Memang tidak salah namun kurang tepat dimaknai untuk dikatakan sebagia “eksis”. Definisi saya pun lebih kacau lagi, sesederhana dapat ditemukan melalui pencarian Google, maka “hal” tersebut telah eksis pada ruang lingkup digital. Andaikata semudah itu, mungkin Universitas Negeri Malang tidak perlu membuat internship humas demi mencapai “eksistensi di lingkup digital”.
Lantas seperti apa yang dapat dimaksud dengan eksis dalam dunia digital bagi sebuah desa? Jika menganut aturan – aturan yang dirilis oleh Komisi Pusat Informasi, menurut saya cukup sederhana. Selama informasi – informasi dan data yang tergolong klasifikasi harus tersedia dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat umum melalui jaringan internet, maka telah selesailah langkah pertama sebuah desa dalam membangun eksistensinya di dunia digital. Akan lebih baik jika segala informasi tersebut tersosialisasi dengan baik kepada warganya.
Bagaimana dengan langkah kedua? Jika belajar dari Humas Universitas Negeri Malang, informasi tidaklah hanya berasal dari tata kelola “badan organisasi” namun bisa jadi muncul dari individu penggerak organisai. Beberapa contoh penggerak informasi dalam desa dapat berupa Karang Taruna, PKK, RT/RW, IPNU IPPNU bahkan hingga komunitas yang memiliki sekretariat di desa tersebut. Ragam sumber informasi ini memiliki potensi untuk menctiptakan ekosistem yang dapat eksis dalam dunia digital. Masing – masing organisasi ini pun dapat secara serta merta menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang relevan sesuai dengan bidang yang digeluti.
Dari potensi – potensi tersebut, bagaimana membangun eksistensi ruang digital dan bagaimanakah organisasi desa berperan dalam mengelola potensi data dan informasi yang sangat kaya ini? Saya pun belajar dari Provinsi Jawa Barat, sungguh ekosistem data mereka sangat baik dan menyenangkan untuk dirasakan meskipun saya bukan warga Jabarprov. Pemprov Jabar sebagai otoritas menginisiasi dalam mengembangkan kerangka, roadmap dan tujuan provinsi melalui Data-Driven-Decision (3D). Kebutuhan pemprov terhadap data ini mendorong otorita di bawangnya untuk melakukan gathering, collecting kebutuhan data. Pemprov sebagai data collector, berperan sebagai diseminator, analyzer data yang telah terkumpul menjadi sebuah informasi yang dapat dinikmati dan dijadikan sebagai alat bantu dalam menentukan kebijakan – kebijakan kritis. Haha, memang hal ini tergolong sulit untuk dilakukan dalam skala sebuah desa, lalu apakah ada alternatif lainnya ?
Membangun Ekosistem Kaya Informasi
Eksistensi dapat diciptakan melalui kepekaan terhadap segala kegiatan yang terjadi dalam desa. Seperti yang saya katakan sebelumnya, sumber infomasi tidaknya berasal dari badan organisasi. Liputan ataupun penyebarluasan kegiatan masyarakat dapat menciptakan diversifitas informasi di dunia digital. Mungkin, cara paling sederhana ialah menggerakkan karang taruna untuk secara aktif dalam membagikan informasi kegiatan di lingkungannya. Di tingkat yang lebih tinggi, membentuk tim yang secara khusus dapat terjun untuk melakukan dokumentasi di kegiatan massal di kelompok masyarakat desa. Meskipun terlihat sederhana, dalam beberapa observasi yang saya lakukan di beberapa desa, organisasi pemuda ataupun sejenisnya terbiasa untuk enggan membagikan informasi kegiatan kepada pemerintah desa, alasannya pun cukup menarik, para organisasi pemuda ini tidak merasa adanya manfaat jika informasi ini dibagikan kepada pemerintah desa ataupun mereka (organisasi pemuda) tidak merasa bahwa pemerintah desa membutuhkan informasi yang mereka miliki untuk disebarluaskan.
Disinilah peran pemerintah desa dalam membentuk ekosistem kaya informasi. Mendekatkan hubungan intra-organisasi dan interpersonal dengan kelompok masyarakat. Menyuarakan akan kebutuhan informasi dan eksistensi digital untuk menjadikan desa menjadi lebih baik. Menjadikan pelayanan informasi menjadi prioritas pemerintah desa. Terkesan normatif memang, tapi sebenarnya sangat sulit untuk dicapai di sebagian besar desa di Indonesia. Saya pribadi pun awalnya cukup pesimis akan hal ini, namun menderngar masa jabatan perangkat desa menjadi delapan (8) tahun, saya pun optimis jika hal in mampu untuk diwujudkan dan menjadi sebuah kebaiasaan dalam pemerintahan dan masyarakat desa.
Bagaimana dengan pemerintah desa sendiri dalam membuat informasi kepada masyarakatnya? Saya memiliki beberapa rekomendasi yang cukup kompleks namun dapat dicoba untuk dilakukan dengan sederhana, mulai dari membangun sejarah desa. Sejarah ialah awal yang bagus dalam menciptkaan sebuah informasi yang komprehensif. Sejarah desa ialah hal yang kompleks untuk dilakukan namun lambat laun dapat membentuk sebuah identitas unik untuk desa dibandingkan dengan desa lainnya. Naik pada jenjang selanjutnya ialah statistik, kinerja dan capaian desa. Mulai dari manapun dapat dilakukan, seperti statistik desa, daftar fasilitas umum, hingga pemetaan desa. Membentuk data geografis digital merupakan not everyone does that terutama untuk sebuah desa.
Pada akhirnya
Eksistensi digital desa bukanlah tentang platform atau sosial media yang digunakan, melainkan bagaimana ekosistem informasi itu terbentuk, terkelola dan termanfaatkan untuk warga desa. Ekosistem informasi yang sehat dan transparan dapat menceritakan desa yang bernarasi dengan indah dan menghanyutkan para warganya dalam berkehidupan dalam desa. Informasi desa pun mampu mendukung pemerintah desa untuk menciptakan kebijakan yang cerdas dan berorientasi pada warganya.