Dalam dunia kerja, peran Instructional Designer menuntut penguasaan berbagai disiplin ilmu yang tidak hanya berfokus pada desain pembelajaran, tetapi juga aspek teknologi, manajemen, dan kebijakan. Berdasarkan temuan dari para praktisi yang telah bekerja selama 2–5 tahun di industri, berikut adalah cakupan pengetahuan yang menjadi dasar kompetensi bagi lulusan Teknologi Pendidikan yang ingin memasuki bidang ini.
1. Pemanfaatan Teknologi dalam Desain Pembelajaran
Instructional Designer diharapkan menguasai berbagai perangkat lunak produksi dan produktivitas seperti Articulate Storyline, Captivate, dan Camtasia untuk pengembangan konten e-learning. Selain itu, pemahaman terhadap Learning Management System (LMS) seperti Blackboard dan Moodle menjadi esensial dalam mengelola pembelajaran daring. Kompetensi ini mencerminkan kebutuhan industri akan profesional yang mampu mengintegrasikan teknologi dalam penyampaian materi pelatihan dan pendidikan.
2. Metodologi Pengembangan dan Pemrograman
Instructional Designer tidak hanya bertanggung jawab dalam menyusun konten, tetapi juga dalam membangun pengalaman belajar yang interaktif dan menarik. Oleh karena itu, pemahaman tentang HTML, CSS, dan JavaScript, serta penguasaan metodologi pengembangan Agile dan Scrum, menjadi nilai tambah dalam mengadaptasi materi pembelajaran ke dalam platform digital.
3. Manajemen Organisasi dan Proyek
Keberhasilan proyek pembelajaran digital tidak hanya ditentukan oleh kontennya, tetapi juga oleh bagaimana proyek tersebut dikelola. Instructional Designer perlu memahami prinsip-prinsip manajemen proyek seperti PMBOK, serta menggunakan perangkat lunak seperti Microsoft Project untuk mengorganisir timeline dan sumber daya. Selain itu, keterampilan dalam analisis SWOT, perencanaan pelatihan global dan lokal, serta pengelolaan sumber daya manusia juga menjadi bagian penting dalam menjalankan proyek pembelajaran secara efisien.
4. Teori Pembelajaran dan Kinerja Manusia
Instructional Designer harus memiliki dasar yang kuat dalam teori pembelajaran seperti Cognitive Load Theory, ARCS Motivation Model, dan Constructivism agar dapat merancang pengalaman belajar yang optimal. Prinsip Human Performance Technology (HPT) juga menjadi landasan dalam mengembangkan solusi pembelajaran yang berbasis pada kebutuhan performa individu maupun organisasi.
5. Evaluasi dan Teknik Pengajaran
Evaluasi pembelajaran menjadi bagian penting dalam proses desain instruksional. Instructional Designer harus memahami berbagai metode evaluasi seperti formative dan summative evaluation, serta menerapkan standar Common Core State Standards (CCSS) dan STEM dalam pengembangan materi. Kemampuan dalam blended learning techniques dan teknologi integrasi kelas juga sangat dibutuhkan untuk menghadirkan pengalaman belajar yang lebih efektif.
6. Desain Antarmuka dan Pengembangan Konten Digital
Instructional Designer tidak hanya bekerja dengan materi pembelajaran, tetapi juga dengan desain visual dan pengalaman pengguna. Oleh karena itu, penguasaan prinsip desain web dan antarmuka, serta pemanfaatan teknologi seperti SCORM dan CMS (Joomla, WordPress, dll.), menjadi elemen penting dalam pengembangan sistem pembelajaran daring.
7. Simulasi, Gamifikasi, dan Pembelajaran Berbasis Teknologi
Industri semakin mengadopsi pendekatan inovatif seperti flipped classroom, gamifikasi, dan simulasi pembelajaran untuk meningkatkan keterlibatan peserta didik. Penggunaan game engine seperti Unity serta teknik desain simulasi instruksional menjadi keunggulan bagi instructional designer dalam menciptakan pengalaman belajar yang lebih menarik dan efektif.
8. Hukum, Kebijakan, dan Etika dalam Pelatihan
Instructional Designer juga perlu memahami hukum hak cipta, kebijakan konten digital, dan prosedur dalam program pelatihan agar dapat mengembangkan materi pembelajaran yang sesuai dengan regulasi yang berlaku. Pengetahuan ini sangat penting untuk memastikan bahwa konten yang diproduksi tidak melanggar aturan yang dapat berdampak pada aspek hukum dan etika.
Kesimpulan
Temuan dari para praktisi instructional designer menunjukkan bahwa cakupan pengetahuan yang dibutuhkan dalam industri ini sangat luas, mencakup aspek teknologi, desain pembelajaran, manajemen proyek, evaluasi, serta regulasi dan kebijakan. Dengan memahami dan menguasai aspek-aspek ini, lulusan Teknologi Pendidikan akan lebih siap dalam menghadapi tantangan di dunia kerja dan berkontribusi secara profesional dalam industri desain instruksional.
Declarations
this content was generated by Genrative AI (ChatGPT 4o) using this prompt:
Bisakah anda membuat sebuah narasi atau storytelling dari dokumen ini. Konteks dari dokumen ini ialah cakupan pengetahuan lulusan teknologi pendidikan dari POV praktisi instructional designer yang telah bekerja selama 2 - 5 tahun. Daftar pengetahuan tersebut disusun berdasarkan tugas dan jobdesc yang dilakukan oleh para praktisi dalam pekerjaanya. Diharapkan, dokumen ini dapat mebantu para lulusan teknologi pendidikan memetakan pengetahuan yang dibutuhkan oleh mereka untuk masuk dalam industri atau mencari kerja di bidang desainer instruksional.
Please be advise using this article in your research context, thus the data provided are from actual research by fellow researchers.
References
Ritzhaupt, Albert D., Florence Martin, Raymond Pastore, and Youngju Kang. “Development and Validation of the Educational Technologist Competencies Survey (ETCS): Knowledge, Skills, and Abilities.” Journal of Computing in Higher Education 30, no. 1 (April 2018): 3–33. https://doi.org/10.1007/s12528-017-9163-z.
Apa batasan pada bidang ini? Bagaimana kita menentukannya? Apa label yang cocok untuk mendeskripsikan kita semua yang berkecimpung di bidang ini? Bidang garapan kita mengalami banyak perkembangan dan perubahan. Tidak hanya definisi, istilah untuk menyebut bidang garapan ini pun turut berubah saking banyaknya perkembangan yang terjadi.
Definisi Tahun 1920 (Dorris)
Dikemukakan oleh Dorris (1928), berkembang pada zaman sekolah – sekolah menggunakan media visual untuk proses pembelajaran.
“the enrichment of education through the ‘seeing experience’ [involving] the use of all types of visual aids such as the excursion, flat pictures, models, exhibits, charts, maps, graphs, stereographs, stereopticon slides, and motion pictures”
Pada 1920 – 1940, definisi teknologi instruksional berada di garapan media pembelajaran, baik media audio maupun visual.
Definisi 1963 (DAVI)
Pada tahun ini, definisi teknologi pendidikan diciptakan oleh Departement of Audio-Visual Instruction (DAVI) dari Amerika Serikat yang sekarang berganti nama menjadi Association for Educational Communications and Technology (AECT). Pada tahun ini, Teknologi Instruksional didefinisikan di lingkup yang lebih luas, tidak hanya sekadar produk media. Sayangnya, definisi ini tidak terpublikasikan.
Definisi 1970 (CIT)
Definisi ini dikemukakan oleh Commison of Instructional Technology, Amerika Serita. Melalui laporannya yang berjudul To Improve Learning CIT membuat dua definisi Teknologi Instruksional. Bunyi definisi pertama merupakan refleksi dari definisi awal Teknologi Instruksional:
In its more familiar sense, it [instructional technology] means the media born of the communications revolution which can be used for instructional purposes alongside the teacher, textbook, and blackboard. . . . The pieces that make up instructional technology [include]: television, films, overhead projectors, computers, and other items of “hardware” and “software.”
Sedangkan definisi kedua yang lebih luas namun cukup kontras dengan definsi resmi yang pertama:
The second and less familiar definition of instructional technology goes beyond any particular medium or device. In this sense, instructional technology is more than the sum of its parts. It is a systematic way of designing, carrying out, and evaluating the whole process of learning and teaching in terms of specific objectives, based on research on human learning and communication, and employing a combination of human and nonhuman resources to bring about more effective instruction.
Definisi kedua cukup luas dan menggambarkan bahwa teknologi instruksional ialah sebuah proses dalam menghadirkan pembelajaran dan mendesainnya.
Definisi 1977 (AECT)
Merupakan definisi yang paling populer dan menjadi definisi fundamental dalam Teknologi Pendidikan. Dipublikasikan dalam bentuk cetak oleh AECT dengan judul Educational technology: Definition and glossary of terms.
Educational Technology is a complex, integrated process involving people, procedures, ideas, devices and organization, for analyzing problems and devising, implementing, evaluating, and managing solutions to those problems, involved in all aspects of human learning.
Definisi 1994 (AECT)
Masa dimana komputer, teknologi dan bahkan internet mulai hadir di berbagai lapisan, teknologi instruksional pun telah berubah secara drastis dan tidak seperti 1970an. AECT kembali mendefinisikan Teknologi Pendidikan melalui terbitannya yang berjudul Instructional Technology: The Definitions and Domains of the Field. (Seels & Richey, 1994).
Instructional Technology is the theory and practice of design, development, utilization, management, and evaluation of processes and resources for learning.
Definisi ini merupakan cikal bakal dari lima domain Teknologi Pendidikan yang sering dibicarakan sebagai pengantar pada perkuliahan maupun penjelasan dasar tentang Teknologi Pendidikan.
Definisi 2007 (AECT)
AECT kembali mempublikasi definisinya yang mengalami perubahan signifikan, membuka cakrawala baru serta mencakup lini penelitian dan penerapan teori praktik. Melalui terbitannya yang berjudul “AECT Definition and Terminology Committee” (Januszewski and Molenda, 2007), definisi yang ditetapkan sebagai berikut:
Educational technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological processes and resources.
Pada definisi ini, dikenalkan kepakaran yang banyak digunakan oleh institusi pendidikan, yaitu memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan performa.
Definisi 2017 (AECT)
Definisi ini tidak banyak dikenal oleh kalangan umum, namun cukup menarik untuk diketahui kebaharuannya, dirilis sepuluh tahun sejak definisi terakhir di publikasikan. Publikasi definsi ini dapat dibaca pada artikel Trends, issues, best practices and current research in organizational training and performance yang ditulis oleh Hasting & Bauman (2020).
Educational technology is the study and ethical application of theory, research, and best practices to advance knowledge as well as mediate and improve learning and performance through the strategic design, management and implementation of learning and instructional processes and resources.
Definisi 2023 (AECT)
Belum ada satu dekade sejak definisi terbaru, AECT kembali mempublikasikan definisi terbaru dari Teknologi Pendidikan.
Educational technology is the ethical study and application of theory, research, and practices to advance knowledge, improve learning and performance, and empower learners through strategic design, management, implementation, and evaluation of learning experiences and environments using appropriate processes and resources.
Definisi ini tidak jauh berbeda dengan versi 2017, namun memberikan perluasan domain, fungsi dan tujuan dari teknologi pendidikan. perubahan zaman yang cukup drastis terjadi di antara 2017 dan 2023 yang memaksa perlu adanya disrupsi terhadap teknologi pendidikan baik dari bidang kajian, fungsi dan tujuan dari Teknologi Pendidikan itu sendiri.
Daftar Rujukan
Seels, B. B., & Richey, R. C. (1994). Instructional technology: The definition and domains of the field. Association for Educational Communications and Technology.
Dorris, A. V. (1928). Visual instruction in the public schools. Ginn.
Januszewski, A., & Molenda, M. (2007) AECT Definition and Terminology Committee. In A. Januszewski & M. Molenda (Eds.), Educational technology: A definition with commentary. Lawrence Erlbaum.
Hastings, N. B., & Bauman, J. A. (2020). Trends, issues, best practices and current research in organizational training and performance. TechTrends, 64, 188–189.
Reiser, R.A., Carr-Chellman, A.A., & Dempsey, J.V. (Eds.). (2024). Trends and Issues in Instructional Design and Technology (5th ed.). Routledge.
Indonesia, the world’s fourth-most populous country, has witnessed significant advancements in educational technology (EdTech) over the past decade. The emergence of digital platforms and solutions has transformed traditional education methods, offering innovative ways to enhance learning and teaching experiences. This article explores the EdTech landscape in Indonesia, highlighting key players such as GovTech Edu Indonesia, Ruang Guru, Zenius, and Kariermu, and discusses the potential for growth in both profit and non-profit sectors.
The Rise of EdTech in Indonesia
The digital revolution has catalyzed the growth of EdTech industries globally, and Indonesia is no exception. The country’s unique demographic and geographical challenges, including a large population spread across thousands of islands, have made digital solutions particularly appealing. The COVID-19 pandemic further accelerated the adoption of EdTech, as traditional classrooms were replaced with online learning environments.
Key Players in the Indonesian EdTech Industry
GovTech Edu Indonesia
GovTech Edu Indonesia, an initiative by the Indonesian government, aims to digitize the educational sector by providing digital tools and resources to schools and educational institutions. This initiative focuses on integrating technology into the curriculum, enhancing the quality of education, and ensuring equitable access to learning materials. GovTech Edu Indonesia has been instrumental in developing platforms for online learning, teacher training, and educational content distribution.
Ruang Guru
Ruang Guru is one of Indonesia’s largest and most popular EdTech startups. Founded in 2014, the platform offers a wide range of services, including live tutoring, video tutorials, and exam preparation materials. Ruang Guru has expanded its offerings to include interactive online classes, quizzes, and educational games, catering to students from elementary to high school. The platform’s success is attributed to its user-friendly interface, affordable pricing, and comprehensive content, making it accessible to a broad audience.
Zenius
Zenius is another major player in the Indonesian EdTech market. Established in 2007, Zenius initially focused on providing educational DVDs but has since transitioned to a fully online platform. The company offers video lessons, practice questions, and mock exams for students preparing for national exams and university entrance tests. Zenius is known for its high-quality content, created by experienced educators, and its emphasis on conceptual understanding and critical thinking skills.
Kariermu
Kariermu, a relatively newer entrant in the EdTech space, focuses on vocational training and career development. The platform offers courses in various fields, including technology, business, and creative industries, aimed at equipping learners with practical skills and knowledge for the job market. Kariermu partners with industry experts and organizations to provide relevant and up-to-date training, helping bridge the gap between education and employment.
Growth Potential in the EdTech Sector
Profit Sector
The profit sector in the Indonesian EdTech industry has immense growth potential, driven by increasing demand for quality education and the proliferation of digital technologies. The following factors contribute to this growth:
Expanding Internet Penetration
As internet access continues to improve across Indonesia, more students and educators can participate in online learning. This trend opens up new markets for EdTech companies, especially in rural and remote areas previously underserved by traditional education systems.
Personalized Learning Experiences
EdTech platforms offer personalized learning experiences, allowing students to learn at their own pace and focus on areas where they need improvement. This approach is particularly appealing in a diverse country like Indonesia, where students’ educational backgrounds and needs vary widely.
Corporate Training and Upskilling
In addition to serving students, EdTech companies are increasingly targeting the corporate sector, offering training and upskilling programs for employees. This trend is driven by the need for continuous learning and skill development in a rapidly changing job market.
Investments and Partnerships
The Indonesian EdTech market has attracted significant investments from both domestic and international investors. Partnerships with educational institutions, technology companies, and content creators further enhance the reach and quality of EdTech offerings.
Non-Profit Sector
The non-profit sector also plays a crucial role in the growth of educational technology in Indonesia, focusing on providing access to education for underserved populations and addressing educational inequities. Key aspects of growth in this sector include:
Digital Literacy and Teacher Training
Non-profit organizations and initiatives are crucial in promoting digital literacy among students and teachers. By providing training and resources, these organizations help educators integrate technology into their teaching practices, enhancing the overall quality of education.
Open Educational Resources (OER)
The development and distribution of Open Educational Resources (OER) are vital for providing free and accessible learning materials to students and teachers. OER initiatives often focus on creating content in local languages and aligning with national curricula, making them more relevant and accessible to Indonesian learners.
Partnerships with Government and Private Sector
Non-profits often collaborate with government agencies, private companies, and international organizations to expand their reach and impact. These partnerships can help scale educational initiatives, provide funding, and share best practices.
Focus on Equity and Inclusion
Non-profit EdTech initiatives prioritize equity and inclusion, working to ensure that marginalized and disadvantaged communities have access to quality education. This focus includes providing scholarships, supporting special education needs, and developing inclusive digital content.
Challenges and Future Directions
Despite the promising growth of the EdTech industry in Indonesia, several challenges remain. These include digital infrastructure gaps, limited access to devices, and varying levels of digital literacy among students and educators. Addressing these challenges requires a concerted effort from all stakeholders, including the government, private sector, non-profits, and the educational community.
Looking forward, the Indonesian EdTech sector is poised for continued growth and innovation. The integration of artificial intelligence, augmented reality, and gamification into educational platforms will further enhance learning experiences. Additionally, a greater emphasis on data-driven decision-making and personalized learning pathways will help cater to individual student needs.
Conclusion
The EdTech industry in Indonesia is at a critical juncture, with significant opportunities for growth and impact in both profit and non-profit sectors. Key players like GovTech Edu Indonesia, Ruang Guru, Zenius, and Kariermu are leading the way in transforming education through technology. By addressing existing challenges and leveraging technological advancements, the EdTech industry can play a pivotal role in shaping the future of education in Indonesia, making it more accessible, equitable, and effective for all learners.
Banyak yang mengatakan bahwa gelar S.Pd akan menjadi guru, tidak sepenuhnya benar dan juga tidak salah. Jurusan Teknologi Pendidikan memiliki prospek yang sungguh luas di dunia kerja. Bahkan, Alumni Teknologi Pendidikan tidak secara khusus dikembangkan dan dididik untuk menjadi seorang pengajar. Jika bukan sebagai pengajar, lalu sebagai apa?
Umumnya, mayoritas artikel dan konten yang ada di Internet akan mengatakan jenis pekerjaan seperti:
Konten Kreator
Fotografer
Animator Video Pendidikan
Pengembang Sistem Pembelajaran
Video Editor
Ilustrator Buku
Guru Animasi
Staff Instansi Pemerintah
Namun apakah benar prospek atau posisi tersebut yang kamu cari selama ini? Ataukan kamu ingin tahu yang lebih detail tentang prospek kerja luusan Teknologi Pendidikan?
Melalui definisi yang pernah dibahas pada konten sebelumnya, Definisi Terbaru Teknologi Pendidikan AECT 2023: Cakupan Lebih Luas dan Relevansi Terkini, Teknologi Pendidikan berada di kawasan Kependidikan Non-keguruan. Kita tetap di bidang pendidikan namun bukan serta merta menjadi guru sebuah mata pelajaran maupun suatu keilmuan tertentu. Lalu menjadi apa seorang alumni Teknologi Pendidikan?
Peluang Karir Pemerintahan
Berdasarkan lowongan pekerjaan yang dirilis oleh Badan Kepegawaian Negara, lulusan S1-Teknologi Pendidikan memiliki peluang yang cukup menjanjikan, terdapat kurang lebih lima (5) posisi yang terbuka dan dapat dimasuki oleh lulusan S1 Teknologi Pendidikan.
Bahkan terdapat sebuah formasi yang secara khusus diperuntukkan bagi lulusan Teknologi Pendidikan, yaitu Jabatan Fungsional Pengembangan Teknologi Pembelajaran. Jabatan PTP ini merupakan jabatan yang bertanggung jawab dalam melaksanakan kegiatan teknologi pembelajaran di sebuah Instansi Pemerintahan.
Pada Program Kampus Merdeka MSIB Batch 2023, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI) membuka posisi Asisten Pengembangan Teknologi Pembelajaran. Posisi magang tersebut secara khusus diperuntukkan untuk para mahasiswa Teknologi Pendidikan.
Tidak tertarik dengan karir sebagai PNS/ASN di lingkungan pemerintahan tapi lebih menyukai di Industri / Swasta? Lebih banyak pilihan bagi alumni Teknologi Pembelajaran di bidang Industri (non-pemerintahan). Berikut beberapa contoh dari prospek pekerjaan yang khusus dan cocok untuk alumni Teknologi Pendidikan.
Mayoritas para alumni Teknologi Pendidikan mengisi formasi atau role yang berhubungan dengan kata – kata seperti Learning Specialist, Learning Facilitator, Learning Operationgs, People Development dan berbagai jargon pengembangan kompetensi pegawai lainnya.
Deskripsi pekerjaan pada posisi tersebut pun cukup familiar didengar selama perkuliahan, contohnya sebagai berikut:
Membuat dan mengembangkan materi, termasuk konten modul, metode pembelajaran, dan penilaian.
Membantu mengubah materi pelatihan ke dalam format E-Learning dengan menggunakan teknologi pembelajaran digital
Membuat copywriting (naskah) untuk konten pembelajaran dan kampanye
Berkolaborasi dengan para ahli materi pelajaran untuk mengumpulkan dan menganalisis konten
Mendesain pembelajaran instruksional
Mengevaluasi capaian staff dalam pelatihan dan pembelajaran
Mengoperasikan Sistem Manajemen Pembelajaran (LMS)
Berikut beberapa contoh perusahaan yang secara khusus membuka psoisi atau formasi di area Teknologi Pendidikan, daftar ini diambil melalui pencarian manual di LinkedIn dengan kata kunci “Instructional Designer / Learning Operation / Learning Specialist”. Sejak tahun 2020, terdapat peningkatan perusahaan ternama yang kian aktif merekrut lulusan Teknologi Pendidikan. Kebanyakan dari perusahan tersebut bergerak di bidang Pelatihan atau Pengembangan Kompetensi Manusia (Pengembangan SDM).
Tidak semua orang akan memiliki pekerjaan ini, tapi pekerjaan ini akan sangat menarik bagi orang – orang yang suka bergelut dengan isu maupun fenomena terkini. Pada COVID-19, Teknologi Pendidikan menjadi salah satu bidang keilmuan yang dituntut untuk menciptakan inovasi untuk keberlangsungan proses pembelajaran.
Tuntutan ini menjadikan role Peneliti atau Researcher sangat menarik untuk ditekuni. Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dalam skema Visiting Researcher-nya, membuka posisi bagi alumni Teknologi Pendidikan (S3 Teknologi Pembelajaran) di Pusat Riset Humanioranya. Terdapat tiga (3) posisi.
Melalui BRIN, prospek peneliti di bidang Teknologi Pendidikan cukup menjanjikan dan sangat menarik untuk dikulik. Meskipun posisi yang dibuka diperuntukkan khusus untuk S3 Teknologi Pembelajaran, hal ini membuktikan ekosistem peluang kariri di Teknologi Pendidikan masih sangat kaya dan beragam.
Posisi Lain – Lain
Jika merefleksikan pengalaman selama perkuliahan di Teknologi Pendidikan, seperti Pemrograman, Desain Grafis, Videografi, Asiparis dan Lainnya. Banyak posisi yang tidak berbau Teknologi Pendidikan namun kita masih dapat bersaing di bidang tersebut dengan usaha ekstra. Berikut contohnya:
Pengembang Software dan Program Pembelajaran
Editor, Layouter, Ilustrator Buku
Pengelola Administrasi Sekolah, Sumber Belajar dan Perpustakaan
Pengelola Jurnal Ilmiah, Percetakan dan Penerbitan Media
Fotografer, Videografer, Broadcaster Program Siaran
Pada akhirnya,
Contoh – contoh prospek karir ini merupakan kumpulan pengalaman, tren dan isu yang terjadi di Indonesia. Untuk saat ini, Teknologi Pendidikan memiliki posisi fondasi yang kuat dan solid di prospek pekerjaan. Tidak ada role khusus yang dibuat untuk Teknologi Pendidikan, maka dari itu, perluas kemampuan agar mampu bersaing secara kompetitif di dunia kerja.
Tulisan ini dibuat semasa saya mengembangkan sebuah lembaga riset di lingkungan Teknologi Pendidikan bersama beberapa rekan saya yang bekerja di Industri dan Pemerintahan. Tidak ada yang bisa direncanakan seluruhnya oleh manusia.
Empowering the Nation Through Meaningful Education.
This tutorial guides you through automating the Mail Merge process in Microsoft Word using VBA (Visual Basic for Applications). Mail Merge is a powerful feature in Word that allows you to create personalized documents for multiple recipients using a single template. By using VBA, you can further enhance this process to automatically save each merged document as both a DOCX and a PDF file, all while keeping your files organized in a specific directory.
Here’s what you will achieve by the end of this tutorial:
Set up your Word and Excel files for Mail Merge.
Write and customize a VBA script to automate the Mail Merge process.
Save each merged document individually in both DOCX and PDF formats.
Optionally clean up temporary files to keep your directory tidy.
Let’s get started!
Step-by-Step Tutorial for Mail Merge with VBA in Word
Step 1: Ensure Files are in the Same Directory
Place the Master Document and Data Source File in the Same Directory:
Ensure that both your Word document (the master document) and your Excel file (the data source) are saved in the same folder. For example, both files could be located in A:\01-kuliah\2024-PELATIHAN-EDTECH\.
Step 2: Open the Master Document in Word
Open Microsoft Word:
Open the Word document that will serve as the master document for your mail merge.
Step 3: Open the VBA Editor
Open the VBA Editor:
Press ALT + F11 to open the Visual Basic for Applications (VBA) editor.
Step 4: Insert a New Module
Insert a Module:
In the VBA editor, go to Insert > Module. This will create a new module where you can write and store your VBA code.
Step 5: Copy and Paste the VBA Code
Copy the VBA Code:
Copy the following VBA code and paste it into the newly created module in the VBA editor:
Step 6: Customize the VBA Code
Customize the Folder and File Paths:
Modify FOLDER_SAVED and SOURCE_FILE_PATH constants to match your specific directory and file names.
Customize the SQL Statement:
If needed, adjust the SQL statement in .OpenDataSource to filter or modify the data being merged.
Customize the File Naming Convention:
Change how the files are named in the TargetDoc.SaveAs2 and TargetDoc.ExportAsFixedFormat lines based on your specific needs.
Step 7: Run the VBA Macro
Run the Macro:
In the VBA editor, press F5 or go to Run > Run Sub/UserForm to execute the macro.
Check the Output:
After running the macro, check the specified folder (e.g., A:\) to find the generated DOCX and PDF files.
Optional Clean-Up:
If you do not want to delete the DOCX files after creating the PDFs, you can comment out or remove the following lines in the code:
On Error Resume Next
Kill FOLDER_SAVED & "*.docx"
On Error GoTo 0
Notes
Ensure that macros are enabled in Word. You might need to adjust your security settings to allow macros to run.
Make sure that the Excel file is not open in another program when running the macro.
This tutorial assumes that the data source Excel file has a sheet named sertifikat. Adjust the sheet name in the SQL statement if your data is in a different sheet.
By following these steps, you can automate the mail merge process in Word using VBA, saving each record individually as DOCX and PDF files.
Environments
Windows 11 Pro
Microsoft Excel 365 Enterprise
Microsoft® Word for Microsoft 365 MSO (Version 2406 Build 16.0.17726.20078) 64-bit
Educational technology is the ethical study and application of theory, research, and practices to advance knowledge, improve learning and performance, and empower learners through strategic design, management, implementation, and evaluation of learning experiences and environments using appropriate processes and resources.
AECT telah memperbarui definisi Teknologi Pendidikan pada tahun 2023, yang kini memiliki cakupan lebih luas. Definisi ini mirip dengan versi 2008 oleh Januszewski dan Molenda, tetapi menambahkan beberapa aspek baru dalam lingkup dan bidang garapannya.
Perubahan Fundamental
The ethical study and application of theory, research, and practices
Dalam definisi terbaru, AECT memperlebar sayap garapan teknologi pendidikan hingga pengembangan ilmu pengetahuan. Berbeda dengan definisi sebelumnya yang menekankan pada implementasi praktis. Pelebaran sayap ini menunjukkan bahwa bidang teknologi pendidikan dapat bersanding dengan keilmuan – keilmuan tentang manusia, teknologi dan budaya.
to advance knowledge, improve learning and performance, and empower learners
AECT pun merombak tujuan yang awalnya cukup sederhana. Definisi terbaru menghilangkan pembatas antara memfasilitasi dan meningkatkan performa dengan menggabungkan kedua bidang tersebut menjadi satu kesatuan. Adanya penyesuian tren pembelajaran yang memberdayakan pebelajar. Mengubah paradigma pembelajaran yang awalnya sebatas transfer pengetahuan menjadi mengembangkan pengetahuan.
through strategic design, management, implementation, and evaluation
Definisi terbaru ini mengembalikan kata “desain” dan “evaluasi” yang sempat hilang pada definisi 2008. Mengubah susunan proses dengan mendahulukan pengelolaan daripada implementasi. Definisi terbaru ini memperbarui paradigma lama bahwasanya evaluasi ialah tahapan yang tidak dapat terpisahkan dari sebuah siklus pengembangan maupun implementasi garapan teknologi pendidikan. Kembali menggunakan kata desain untuk memberikan ciri khas luaran yang bersifat eksperimental dan dapat berubah sesuai dengan tren dan isu yang hadir.
of learning experiences and environments
AECT menambahkan sasaran atau objek bidang garapan secara spesifik. Pembaruan ini selaras dengan perubahan yang menggabungkan memfasilitasi pembelajaran dan meningkatkan performa. Meskipun telah spesifik objek gararapan yang akan dikembangkan, bentuk atau luaran yang akan dihasilkan masih sangat luas bahkan tidak ada batasan selama objek garapan tersebut dapat digunakan untuk dalam meningkatkan pengalaman maupun lingkungan pembelajaran.
using appropriate processes and resources
Tidak ada batasan pada teknologi, proses, metode, alat dan bahan yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan, namun ketepatan penggunaan proses dan sumber daya ialah hal yang ditekankan. Analoginya, jangan membunuh nyamuk menggunakan roket.
Kesimpulan
Definisi tahun 2023 menunjukkan perkembangan yang signifikan dari definisi tahun sebelumnya. Teknologi Pendidikan menjadi bidang yang lebih kompleks, merambah dari kegiatan praktis hingga menjadi kegiatan riset dan pengemabngan ilmu pengetahuan. Objek bidang garapan yang lebih konkrit hingga menyungsung perubahan paradigma pembelajaran.
Educational Technology is the study and ethical practice of facilitating learning and improving performance by creating, using, and managing appropriate technological process and resources
Definisi Teknologi Pendidikan 2008 (Januszewski and Molenda, 2008)
Referensi
Januszewski, A., Molenda, M., & Association for Educational Communications and Technology. (2008). Educational technology : a definition with commentary. Routledge.
Thank you to the 2023 Definition Task Force for their work on this definition. Co Chairs: Albert Ritzhaupt, & Keith Heggart Christopher Prokes Kamla Al Amri Monalisa Dash Michelle R. Gould Royce Kimmons
Jika dikatakan sebagai palu gada, memiliki akun instagram dan situs web publik dapat dikatakan instansi maupun organisasi tersebut telah eksis secara digital. Memang tidak salah namun kurang tepat dimaknai untuk dikatakan sebagia “eksis”. Definisi saya pun lebih kacau lagi, sesederhana dapat ditemukan melalui pencarian Google, maka “hal” tersebut telah eksis pada ruang lingkup digital. Andaikata semudah itu, mungkin Universitas Negeri Malang tidak perlu membuat internship humas demi mencapai “eksistensi di lingkup digital”.
Lantas seperti apa yang dapat dimaksud dengan eksis dalam dunia digital bagi sebuah desa? Jika menganut aturan – aturan yang dirilis oleh Komisi Pusat Informasi, menurut saya cukup sederhana. Selama informasi – informasi dan data yang tergolong klasifikasi harus tersedia dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat umum melalui jaringan internet, maka telah selesailah langkah pertama sebuah desa dalam membangun eksistensinya di dunia digital. Akan lebih baik jika segala informasi tersebut tersosialisasi dengan baik kepada warganya.
Bagaimana dengan langkah kedua? Jika belajar dari Humas Universitas Negeri Malang, informasi tidaklah hanya berasal dari tata kelola “badan organisasi” namun bisa jadi muncul dari individu penggerak organisai. Beberapa contoh penggerak informasi dalam desa dapat berupa Karang Taruna, PKK, RT/RW, IPNU IPPNU bahkan hingga komunitas yang memiliki sekretariat di desa tersebut. Ragam sumber informasi ini memiliki potensi untuk menctiptakan ekosistem yang dapat eksis dalam dunia digital. Masing – masing organisasi ini pun dapat secara serta merta menyampaikan dan menyebarluaskan informasi yang relevan sesuai dengan bidang yang digeluti.
Dari potensi – potensi tersebut, bagaimana membangun eksistensi ruang digital dan bagaimanakah organisasi desa berperan dalam mengelola potensi data dan informasi yang sangat kaya ini? Saya pun belajar dari Provinsi Jawa Barat, sungguh ekosistem data mereka sangat baik dan menyenangkan untuk dirasakan meskipun saya bukan warga Jabarprov. Pemprov Jabar sebagai otoritas menginisiasi dalam mengembangkan kerangka, roadmap dan tujuan provinsi melalui Data-Driven-Decision (3D). Kebutuhan pemprov terhadap data ini mendorong otorita di bawangnya untuk melakukan gathering, collecting kebutuhan data. Pemprov sebagai data collector, berperan sebagai diseminator, analyzer data yang telah terkumpul menjadi sebuah informasi yang dapat dinikmati dan dijadikan sebagai alat bantu dalam menentukan kebijakan – kebijakan kritis. Haha, memang hal ini tergolong sulit untuk dilakukan dalam skala sebuah desa, lalu apakah ada alternatif lainnya ?
Membangun Ekosistem Kaya Informasi
Eksistensi dapat diciptakan melalui kepekaan terhadap segala kegiatan yang terjadi dalam desa. Seperti yang saya katakan sebelumnya, sumber infomasi tidaknya berasal dari badan organisasi. Liputan ataupun penyebarluasan kegiatan masyarakat dapat menciptakan diversifitas informasi di dunia digital. Mungkin, cara paling sederhana ialah menggerakkan karang taruna untuk secara aktif dalam membagikan informasi kegiatan di lingkungannya. Di tingkat yang lebih tinggi, membentuk tim yang secara khusus dapat terjun untuk melakukan dokumentasi di kegiatan massal di kelompok masyarakat desa. Meskipun terlihat sederhana, dalam beberapa observasi yang saya lakukan di beberapa desa, organisasi pemuda ataupun sejenisnya terbiasa untuk enggan membagikan informasi kegiatan kepada pemerintah desa, alasannya pun cukup menarik, para organisasi pemuda ini tidak merasa adanya manfaat jika informasi ini dibagikan kepada pemerintah desa ataupun mereka (organisasi pemuda) tidak merasa bahwa pemerintah desa membutuhkan informasi yang mereka miliki untuk disebarluaskan.
Disinilah peran pemerintah desa dalam membentuk ekosistem kaya informasi. Mendekatkan hubungan intra-organisasi dan interpersonal dengan kelompok masyarakat. Menyuarakan akan kebutuhan informasi dan eksistensi digital untuk menjadikan desa menjadi lebih baik. Menjadikan pelayanan informasi menjadi prioritas pemerintah desa. Terkesan normatif memang, tapi sebenarnya sangat sulit untuk dicapai di sebagian besar desa di Indonesia. Saya pribadi pun awalnya cukup pesimis akan hal ini, namun menderngar masa jabatan perangkat desa menjadi delapan (8) tahun, saya pun optimis jika hal in mampu untuk diwujudkan dan menjadi sebuah kebaiasaan dalam pemerintahan dan masyarakat desa.
Bagaimana dengan pemerintah desa sendiri dalam membuat informasi kepada masyarakatnya? Saya memiliki beberapa rekomendasi yang cukup kompleks namun dapat dicoba untuk dilakukan dengan sederhana, mulai dari membangun sejarah desa. Sejarah ialah awal yang bagus dalam menciptkaan sebuah informasi yang komprehensif. Sejarah desa ialah hal yang kompleks untuk dilakukan namun lambat laun dapat membentuk sebuah identitas unik untuk desa dibandingkan dengan desa lainnya. Naik pada jenjang selanjutnya ialah statistik, kinerja dan capaian desa. Mulai dari manapun dapat dilakukan, seperti statistik desa, daftar fasilitas umum, hingga pemetaan desa. Membentuk data geografis digital merupakan not everyone does that terutama untuk sebuah desa.
Pada akhirnya
Eksistensi digital desa bukanlah tentang platform atau sosial media yang digunakan, melainkan bagaimana ekosistem informasi itu terbentuk, terkelola dan termanfaatkan untuk warga desa. Ekosistem informasi yang sehat dan transparan dapat menceritakan desa yang bernarasi dengan indah dan menghanyutkan para warganya dalam berkehidupan dalam desa. Informasi desa pun mampu mendukung pemerintah desa untuk menciptakan kebijakan yang cerdas dan berorientasi pada warganya.
Kuliah di minggu ini cukup santai, bebarengan dengan PEMILU sehingga saya pun melenggang pulang ke Sidoarjo. Pulang pun tidak bersantai seperti biasanya, namun menjadi tim KawalPemilu di desa saya. Cukup menyenangkan prosesnya meskipun hanya bersepeda berkeliling dari TPS ke TPS lainnya.
Jika mengingat momen PEMILU, kental rasanya tentang “QUICK COUNT”. Saya pun juga teringat dengan salah satu topik yang dibelajarkan pada matakuliah statistika, yaitu sampling dan populasi. Setelah mencoba untuk mencari tahu lebih lanjut tentang proses quick count, ternyata quick count menggunakan teknik stratified sampling (sampling berjenjang). Mekanika prosesnya cukup sederhana namun memiliki tahapan yang panjang.
Dalam melakukan stratified sampling, antara kita menentukan cluster sampling terlebih dahulu atau mengetahui populasi total terlebih dahulu. Dengan kasus PEMILU, menurut saya akan lebih cocok untuk membagi cluster sampling terlebih dahulu. Hal ini dimungkinkan karena cluster sampel dapat ditentukan dari pembagian wilayah administratif seperti kabupaten/kota atau provinsi. Dari pembagian cluster tersebut, dapat dipermudah untuk melakukan klasterisasi dan jumlah sampel yang dibutuhkan pada setiap cluster terhadap total populasi kumulatif dari seluruh cluster.
Saya cukup terkesan dengan image generator kali ini. Dengan art style anime, cukup mudah untuk melakukan self hosting. Meskipun demikian, Image Diffuser ini cukup haus akan GPU Memory. Kehausan ini saya temukan ketika mencoba melakukan running pada Google Colab dengan T4 TPU Engine. Dalam satu kali percobaan, dibutuhkan sekitar 7 GB RAM untuk melakukan generate image dengan resolusi sebesar 2048×2048 dengan jumlah proses tensor sebanyak 50 buah. Saya coba untuk running pipeline kedua, namun hasilnya gagal. Kegagalan tersebut dikarenakan out-of-memory error. Ya, Animagine XL 3.0 memang sehaus itu akan GPU Memory.
Saya akan coba untuk mencari cara melakukan optimasi terhadap kebutuhan memory GPU dari Text-to-Image generator kali ini.
Buku ini tidak secara khusus membahas tentang cara megukur maupun meningkatkan iklim pembelajaran. Buku ini memberikan contoh – contoh dari skenario yang terjadi di ruang kelas baik dalam lingkungan penelitian maupun non-penelitian.
Pada bab pertama, dibahas tentang key concept dari seorang pembelajar yang efektif dan berkualitas. Secara singkat, kunci dari pembelajar yang berkualitas ialah memiliki skill komunikasi, tingkat pemahaman terhadap konten pembelajaran, kedekatan dengan pebelajar, kemampuan dalam merencanakan dan melakukan manajemen kelas serta memahami kebutuhan dan tujuan dari pebelajar.
Dari beberapa skill tersebut, byproduct yang terjadi dalam proses pembelajaran cukuplah sederhana. Tidak hanya capaian pebelajar yang meningkat, melainkan proses pengorganisasian kelas, minimnya disrupsi dalam proses pembelajaran hingga yang paling penting ialah terjadinya hubungan antar pebelajar dan pembelajar yang positif.
Fenomena tersebut juga dibuktikan oleh beberapa penelitian yang telah dikurasi pada buku ini. Dari seluruh penelitian, temuan yang paling penting untuk disorot ialah pebelajar yang belajar bersama dengan pembelajar yang berkualitas memiliki capaian pembelajaran yang lebih baik. Hal tersebut tidak bergantung pada sekolah, lingkungan belajar, dan konten pembelajaran mana yang dilakukan untuk pembelajaran.
Dari bab ini, dapat disimpulkan secara sederhana bahwasanya kualitas dari seorang pembelajara memiliki peran yang paing signifikan bagi pebelajar dalam proses pembelajarannya. Kemampuan pembelajar dalam berkomunikasi, mengorganisasi dan menjalin hubungan dengan pebelajar menjadi jembatan dalam menghadirkan lingkungan belajar yang positif.
Bab dua paling menarik bagi saya. Kalimat pertama di bab ini secara jelas mengatakan bahwa “Membelajarkan bukanlah sebuah pekerjaan malainkan sebuah panggilan”. Pembuka yang sangat berkesan serta memberikan gambaran bahwa menjadi guru bukanlah hanya “mentransfer pengetahuan dan ilmu” tapi terdapat tuntutan sikap, perilaku dalam membelajarkan sebuah pengetahuan. Di bab ini, terdapat empat aspek penting bagi seorang pembelajar dalam menjalin hubungan dengan pebelajar. Saya tertarik pada dua aspek.
Immediacy. Seorang pembelajar akan dipandang lebih berkesan dan lebih dekat dengan pebelajar jika memiliki perilaku yang positif diluar konten pembelajaran. Contoh sederhana ialah menyapa pebelajar sebelum proses pembelajaran dimulai, memperhatikan dengan antusias pebelajar yang bertanya. Gestur – gestur kecil tersebut membuat pebelajar merasa terhubung secara personal dengan pembelajar. Semakin banyak gestur – gestur positif yang diberikan kepada pebelajar, kondisi psikologis siswa akan membentuk bahwa pembelajar memberikan kesan positif baik dalam pembelajaran maupun diluar proses pembelajaran.
Caring. Kembali lagi, tuntutan sikap dan perilaku. Seorang pembelajar memiliki panggilan untuk mengetahui, memahami dan memperhatikan pebelajar. Tidak hanya berfokus pada capaian dalam hal akademik, pembelajar akan menghasilkan capaian yang lebih baik jika dapat terhubung dan memperhatikan pebelajar di luar konteks pembelajaran. Sesederhana memberikan umpan balik yang konstruktivis dibalut dengan nada yang positif dapat menghasilkan capaian yang signifikan.
Secara umum, bab ini memberikan gambaran bagaimana seorang pembelajar hadir dalam ranah personal seorang pebelajar, baik dalam lingkungan belajar maupun lingkungan emosional-personal. Menarik untuk dibaca kembali sembari mengingat bahwa “membelajarkan bukanlah sebuah pekerjaan namun sebuah panggilan”
Pada pertemuan kali ini, Pak Taufik banyak memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk melakukan eksplorasi. Topik yang dieksplorasi pun cukup dinamis, mulai dari bagaimana sebuah data didapatkan, kredibilitas suatu data hingga mencari data dari sumber data terbuka. Di penghujung akhir, mahasiswa diminta untuk melakukan penugasan berupa investigasi karakteristik sebuah data yang telah dicari secara berkelompok. Investigasi yang dilakukan untuk menemukan variable, skala data, dan karakteristik lainnya. Terakhir, data tersebut divisualkan menggunakan condra untuk memudahkan proses interpretasi.
Untuk metode kali ini, beliau menggunakan metode 5E. Cukup unik karena model ini biasanya dibuat untuk kelas sains. Cukup masuk akal karena statistik masih masuk dalam rumpum keilmuan STEM. Meskipun banyak proses yang melibatkan dosen di metode 5E, mahasiswa diberikan banyak kesempatan untuk melakukan hands-on practice.
Perkuliahan statistik ini diampu oleh Bapak Taufik, pembukaanya menarik dengan sebuah permainan dengan pertanyaan terkait pengetahuan umum dan brain tezzer. Materi yang dibawakan pada pertemuan awal hanyalah paparan tentang bagaimana perkuliahan dijalankan dan materi – materi yang akan hadir. Kemenarikan dari desain materi kali ini ialah Pak Taufik membawakan beberapa hal baru berupa dataset tentang hasil pembelajaran (learning analytics, dataset kependudukan) serta sebuah app statistik yang dibuat secara khusus untuk pengantar statistik kependidikan.
Mahasiswa menjelang akhir pemaparan, diberikan survey awal pembelajaran baik demografi dan pre-test. Soal pre-test dapat saya katakan cukup menarik dan sangat segar. Soal pre-test fokus pada konsep dasar statistik deskriptif namun menitik beratkan pada hal – hal teknis untuk proses interpretasi data.
Pemrograman Visual (observasi kelas)
Pada observasi di matakuliah ini, cukup normal dan tidak ada hal yang menarik terjadi dalam kelas. Pertemuan awal ini hanya berfokus pada pemaparan desain pembelajaran yang dilakukan untuk setengah semester. Berfokus pada penugasan yang cukup kompleks untuk dilakukan. Materi yang cukup baru dan sedikit menantang bagi mahasiswa membuat matakuliah ini akan menarik untuk diobservasi lebih lanjut.
Pengembangan Proposal Tesis
Pada pertemuan ini menjelaskan secara sederhana bagaimana perkuliahan yang akan dijalani. Poin penting dalam matakuliah ini ialah proses pengembangan proposal tesis dan tahap pembimbingan dengan dosen sebaiknya koheren dan berjalan beriringan. Secara umum, matakuliah akan berfokus pada fondasi dasar keilmuan dan tahapan penelitian. Paparan dilakukan oleh Pak Fadhli bersama Prof. Punaji.
Menuju peghujung akhir pembelajaran, dijelaskan konsep dasar sebuah proposal tesis oleh Prof. Punaji, baik konsep judul penelitian, batang tubuh sederhana, perbedaan dasar tentang eksperimen, kualitatif dan pengembangan.
Statistik Penelitian Teknologi Pembelajaran
Matakuliah ini kesannya seperti pada matakuliah tren dan isu TEP. Matakuliah ini berfokus pada pemaparan materi dari setiap uji statistika, mulai dari teori dasar statistika hingga uji kompleks seperti uji faktorial. Desain pembelajaran akan dikemas satu pertemuan, satu topik uji statistika. Tidak ada hal yang terlalu fancy namun dua pertemuan akhir terdapat tugas yang cukup terasa “project”.
Tugas project tersebut berupa observasi lapangan dengan tujuan pengambilan data. Data yang telah didapatkan nantinya akan diuji menggunakan statistika untuk mendapatkan sebuah informasi. Sedangkan tugas projek lainnya ialah melakukan analisis terhadap metode statistik yang dilakukan pada sebuah tesis maupun artikel ilmiah yang terlah terpublikasi.
Metodologi Riset & Pengembangan
Matakuliah ini diampu oleh dosen yang sama seperti pengembangan proposal tesis. Proyek akhir yang digunakan juga sama, yaitu draft proposal. Secara khusus, matakuliah ini membahas terkait metode – metode penelitian yang dikhususkan untuk kajian teknologi pembelajaran. Prof. Punaji mengatakan bahwa sebenarnya, penelitian pengembangan merupakan penelitian yang melekat sebagai identitas seorang teknolog pembelajaran, berbeda dengan penelitian – penelitian sepertikualitatif dan kuantitatif.
Bidang kajian teknologi hadir untuk menyelesaikan masalah, sehingga erat kaitanyya dengan model applied research. Jenis penelitian terapan paling sederhana ialah pengembangan, karena penelitian pengembangan hadir untuk solusi dari sebuah permasalahan.
During my three and a half years as a student, I compromised on many things. I was quite amazed by the development I experienced during my time in Malang City. I met many human characteristics, jobs. Many people passed through my life, not many but all of them are imprinted in my memory.
In lectures, science and knowledge are easy to obtain. All the knowledge learned in lectures is quite easy to find and digest. If so, what developed in me during lectures?
As it turned out, what developed from me during college was very complex, namely attitudes, both verbal, non-verbal and thinking. I only realized this when I reflected on myself today compared to myself in the middle of 2020.
I evolved from someone who:
Would avoid the company of people who didn’t share the same hobbies to someone who wanted to learn about other people’s likes.
Would plan everything to simply plan big steps.
Will always question everything to someone who always elaborates on new things.
From someone who is lazy to open a conversation to someone who does not hesitate to open a conversation.
Will have a messy desk to an organized and neat desk.
Will confuse things that are not yet clear to someone who chooses to try first.
Will follow the flow around to become someone who does not hesitate to choose different things.
Will buy things without thinking twice into someone who will buy things if they have to.
From someone who focuses on working on ideas to creating ideas.
Will focus on who made the mistake to someone who figures out why mistakes happen.
Will make a quick fix to a problem to someone who makes a temporary fix followed by an advanced plan.
Will blame regulations and administrative things to someone who compromises, and looks for the simplest solution.
These things are indeed trivial and easy to obtain for most people, but what makes it memorable for me is that these things are very simple but it takes a long process to feel the change.
Well, there are still five more years with me here.
Selama menjelajah penelitian tentang Sentimen Analisis di Google Schoolar, tidak banyak penelitiaan yang bertopik tentang pendidikan. Jikapun ada, tidak membahas konsep pemanfaatan sentimen analisis, melainkan menguji performa model yang dikembangkan. Dilihat melalui kacamata Teknologi Pendidikan, kurang tepat rasanya untuk menuliskan penelitian yang membahas modelling arsitektur NLP.
Menjadi sebuah motivasi untuk mencoba analisis sentimen. Cara sederhana untuk mengetahui sentimen pebelajar. Data sentimen berasal dari umpan balik pebelajar setelah proses pembelajaran. Alasan meneliti data umpan balik pun cukup sederhana, yaitu karena tidak banyak dilakukan dalam sudut pandang pemanfaatan atau Proof-of-Concept (PoC). Penelitian ini relevan dengan definisi teknologi pendidikan, baik lingkup memfasilitasi pembelajaran atau meningkatkan performa.
Salah satu penelitian yang menarik ialah milik dosen saya dengan judul “Digital News Transformation on Education in the Most Affected Country by COVID-19 Using the Topic Modeling and Sentiment Analysis doi:10.1109/ICET56879.2022.9990686“. Penelitian beliau terfokus pada interpretasi hasil analisis. Berbeda dengan penelitian lainnya yang fokus pada akurasi model.
Metode
Metode yang digunakan pada studi kasus ini cukup sederhana, sekadar melakukan pengumpulan data, pembersihan, uji sentimen, dan interpretasi. Saya mencoba untuk menghindari langkah – langkah kompleks karena kebutuhan saat ini hanyalah sebagai proof of concept. Prosedur dari penelitian ini dapat dilihat dari diagaram alir sebagai berikut.
Untuk lebih jelasnya, berikut penjelasan dsasar dari setiap tahapan yang akan dilakukan,
Fetching data, melakukan pengambilan data dari pusat data.
Cleaning up, membersihkan data dari galat sistem dan karakter non alfabet.
Data Preprocessing, membersihkan data berdasarkan teknik NLP.
Data Annotating yaitu proses pelabelan data yang dilakukan oleh manusia sebagai data kontrol.
Topic modelling, melakukan analisi topic berdasarkan algoritma LDA.
Sentiment Gathering, melakukan pengambilan sentimen melalui API NLP Google Cloud.
Sentimen Interpretation, melakukan interpretasi dari proses sentimen gathering dan melakukan uji korelasi antara hasil sentimen dengan topic modelling.
Correlation test, proses untuk membandingkan hasil proses interpretasi yang telah dilakukan dengan hasil annotasi data yang dilakukan oleh manusia.
Seluruh proses ini memanfaatkan bahasa pemrograman python v3.11 didukung berbagai library dan package.
Hasil
Proses Fetching Data
Proses fetching dilakukan dengan melakukan mengunduh data tanpa melakukan pengurangan jumlah data. Terdapat pemrosesan yang dilakukan yaitu (1) melakukan normalisasi pada kolom created_at menjadi format yyyy-mm-dd , (2) penyensoran user_id ,(3) normalisasi kolom topic_id menjadi nominal progress pebelajar.
Total data yang diunduh dari database berjumlah 1099 baris yang terdiri dari empat kolom. Kolom created_at mendeskripsikan kapan survey itu dikirimkan, message yaitu pesan/survey yang dituliskan oleh pebelajar, user_id pebelajar yang mengirimkan pesan tersebut, dan topic_id yaitu topik pembelajaran yang sedang disampaikan.
Hasil data summary, 94% data pada baris message memiliki nilai yang berbeda. Setelah dianalisa dengan singkat, terdapat baris yang memiliki kesamaan pesan. Kondisi ini tidaklah ideal untul dilakukan analisis, maka perlu dibuang pada tahap selanjutnya.
Gambaran umum dari data yang telah diunduh dari database sebagai berikut:
Description
Value
Row Count
1099 Rows
message distinction rate
94% (~1036 value)
created_at distinction rate
5% (54 value)
user_id distinction rate
12% (127 value)
Pre Cleanup
Setelah data diunduh, data akan dibersihkan dari residu yang dapat menggagu proses analisis sentimen. Bentuk – bentuk residu yang dihilangkan pada tahapan ini diantaranya,
Noise Removal, menghapus karakter non alfabet, seperti tanda baca, emoji dan karakter lainnya.
Casefolding, mengubah seluruh huruf kapital menjadi huruh kecil.
Repeated Character, mengubah huruf yang muncul secara berulang – ulang dalam satu kata, contoh “Kenapaa Sihhh” menjadi “kenapa sih”.
PII Obfuscation, mengubah nama – nama orang menjadi kata ganti profesi, seperti nama asli dosen atau asisten .
Mengubah kata gaul atau slang menjadi kata formal.
Stopword Removal, menghapus kata stopwords pada pesan survey.
Remove whitespace, menghapus spasi ganda.
Menghapus pesan dengan jumlah karakter di bawah 70 karakter, hal ini digunakan sebagai kriteria umum dari survey yang layak untuk dilanjutkan proses analisis sentimen.
Duplicate Deletion, menghapus konten pesan yang isinya sama, sehingga meningkatkan distinction rate dataset sehingga seluruh pesan dalam isi dataset bersifat unik.
Setelah proses cleanup dilakukan, jumlah baris berkurang menjadi 629 baris. Tidak ada perubahan jumlah kolom, melainkan menambah kolom processed_message dengan value dari proses cleanup.
Distinction rate meningkat menjadi 100%, hal ini menandakan bahwa seluruh pesan duplikat telah dihilangkan, sehingga setiap baris bersifat unik.
Hal menarik akibat proses cleanup ialah terjadi penuruan agregasi berdasarkan topic_id, dapat diartikan bahwa jumlah survey pada sebuah topik pembelajaran menurun jumlahnya berdasarkan topik pembelajaran, namun tren penurunan yang terjadi cukup stabil. Nilai terendah terdapat pada topik pembelajaran ke-8 dan nilai tertinggi berada pada topik pembelajaran ke-0.
Data Pre-Processing
Pada tahap ini, dilakukan proses stemming terhadap hasil survei yang telah dilakukan pembersihan. Stemming adalah proses untuk mengubah sebuah kata menjadi kata dasar. Contohnya seperti aku memakan buah apel itu menggunakan sendok menjadi aku makan buah apel itu guna sendok. Proses stemming dilakukan karena teks menjadi lebih sederhana dan tidak kompleks bagi model NLP dalam melakukan pelabelan sentimen.
Metric
Stemmed
Non-stemmed
Word count
10575
10574
Char count
68326
78969
Word reduction
-0.0%
-0.0%
Char reduction
13.5%
13.5%
Average word length
6.6
7.6
Unique words
629
629
Unique word percentage
5.9%
5.9%
Dari hasil stemming yang telah dilakukan, terdapat penurunan yang cukup signifikan terhadap jumlah karakter. Terjadi penurunan sebanyak 10.643 karakter, jika dipersentasekan terhadap jumlah karakter non-stemmed , terjadi pengurangan sebesar ~10%. Penurunan ini signifikan serta diharapkan dapat meningkatkan performa model NLP yang akan digunakan dalam proses analisis sentimen.
Hasil survei yang telah diproses akan dilanjutkan pada proses sentiment gathering. Sentimen gathering akan menggunakan dua (2) model NLP, yaitu Google Cloud Natural Language dan IndoBERT.
Sentimen Gathering – IndoBERT Model
Sentimen gathering menggunakan IndoBERT mudah untuk dilakukan. Secara bawaan, IndoBERT memberikan output yang cukup sederhana, yaitu sentimen label dan sentiment_score. Sentimen label merupakan tendensi sentimen, output yang diberikan ialah positive, negative, dan neutral. Sentiment Score merupakan kekuatan sentimen yang diberikan, skala skor yang diberikan dari rentang 0 hingga 1. Contoh dari output yang dihasilkan dapat dilihat di tabel di bawah ini:
message
sentiment_label
sentiment_score
cerita rasa tugas dimensi pesimis tugas sanggup menang sadar tugas mudah matkul per tokopedia
negative
0.911978662
ajar produk 3d blender ajar tools kembang produk tau tools grab belah produk boolean lainlain
neutral
0.7909024358
modul ajar bagus ajar modul simpel keren modul mudah akses
positive
0.9884135127
bab labelling materi tutorial dapat mudah paham terap produk selesai
neutral
0.515247345
Proses penafsiran output IndoBERT cukup sederhana. Sebuah sentimen dikatakan memiliki nilai emosional yang kuat ketika memiliki score sentimen yang mendekati 1 dan dikatakan rendah jika mendekati 0. Bagaimana dengan netral? Kasus netral ini cukup kompleks karena terdapat satu sentimen yang sulit untuk terdeteksi yaitu mixed. Secara sistem, IndoBERT tidak menghasilkan output sentimen mixed, sehingga sentimen score pada neutral masih belum secara jelas dapat terdefinisikan.
Secara umum, sentiment gathering menggunakan IndoBERT menghasilkan nilai positive sebanyak 43%, negative 34% dan sisanya netral. Sedangkan pada sentimen score, memiliki rata – rata 0.85. Dapat disimpulkan bahwasanya, menurut IndoBERT, kekuatan emosional dari sentimen pada hasil survei cenderung kuat dan ekspresif baik dalam mengutarakan perasaan positif maupun negatif.
Sentimen Gathering – Google NLP API
Pada proses sentimen gathering menggunakan google NLP, terdapat karakteristik output yang unik. Google NLP tidak memberikan ketetapan terhadap hasil sentimen, melainkan memberikan skor sentimen seperti halnya indoBERT. Skor sentimen yang diberikan memiliki rentang dari -1 hingga 1. Selain itu, terdaapat nilai tambahan dengan sebutan magnitude score. Magnitude score memiliki arti yang sama seperti sentimen score pada IndoBERT, yaitu kekuatan sentimen.
Dalam dokumentasi yang diberikan, terdapat panduan interpretasi secara sederhana:
Sentiment
Sample Values
Clearly Positive*
"score": 0.8, "magnitude": 3.0
Clearly Negative*
"score": -0.6, "magnitude": 4.0
Neutral
"score": 0.1, "magnitude": 0.0
Mixed
"score": 0.0, "magnitude": 4.0
Dari pedoman tersebut, interpretasi dilakukan dengan cara conditional branching terhadap score sentimen. Jika nilai score diatas 0, maka sentiment dinyatakan positif dan sebaliknya. Berikut hasil sentimen gathering yang telah dilakukan:
message
sentimen_score
sentimen_magnitude
sentiment
cerita rasa tugas dimensi pesimis tugas sanggup menang sadar tugas mudah matkul per tokopedia
-0.3030000031
0.4410000145
negative
alam materi senang bangga bikin aplikasi blender hehehe baik sesuai
0.9380000234
0.9850000143
positive
alam materi tegang pilih juduk timbang babbab depan kenal buka aplikasi blender pilih judul berat depan
-0.0120000001
0.0520000011
negative
daki gunung lewat lembah menggerjakan bab sampai hujung jalan validasi produk
0
0.1220000014
negative
kain ucap teimakasih mohon maaf sumpa iki tugas tereffort sakumur umur terjang hujan gerimis beldekan barang hahahaha
0.001
0.7490000129
positive
Untuk melakukan labelisasi neutral, digunakan skala tiga kategori menggunakan score sentiment. Untuk memudahkan proses labelisasi, digunakan fungsi kategorisasi sebagai berikut dengan kondisi diatas 0.4 merupakan positif, dibawah -0.4 merupakan negatif, sisanya ialah neutral.
Dari proses kategorisasi yang telah dilakukan, didapatkan gambaran umum hasil sebagai berikut:
Model Performance Analysis
Analisis performa model merupakan tahapan membandingkan hasil sentimen gathering dari kedua model NLP. Pada tahapan ini, dilakukan perbandingan melalui confusion matrix secara sederhana. Berikut ialah hasil dari proses analisis model yang telah dilakukan.
Pada hasil confusion matrix hasil sentiment labelling yang dilakukan, model NLP Google dan IndoBERT memiliki konsistensi yang tinggi pada label positif. Hasil yang sama pun ditemukan pada konsistensi labelling negatif. Terdapat hasil yang menarik dari kedua model ini, yaitu tingginya ketidakselarasan label positif (googleNLP) dan label negatif (indoBERT). Perdaan labelling ini dapat diartikan bahwasanya kedua model memiliki karakteristik dalam menandai sentimen. Dari hasil berikut, dibutuhkan hasil analisis akurasi dan konsistensi dari kedua model untuk mengetahui keandalannya untuk diimplementasikan dalam proses evaluasi pembelajaran.
#
Metric
Score
0
Global Accuracy
80.7%
1
Precision
77.3%
2
Recall
96.5%
3
F1 score
85.8%
4
MCC
60.2%
#
Error Rate
Subset Accuracy
Precision
0
40.2%
59.8%
61.8%
#
precision
recall
f1-score
support
negative
81.4%
38.4%
52.2%
216
neutral
39.5%
52.1%
44.9%
140
positive
64.5%
81.0%
71.8%
269
accuracy
59.8%
59.8%
59.8%
0.5984
macro avg
61.8%
57.2%
56.3%
625
weighted avg
64.7%
59.8%
59.0%
625
Untuk analisis akurasi dan konsistensi, digunakan IndoBERT model sebagai baseline atau standar sedangkan GoogleNLP sebagai predicted value. Dari hasil akurasi secara keseluruhan, kedua model tersebut mendapatkan akurasi 80%, dan tingkat presisi setinggi 70%.
Jika dilihat dari akurasi per kategori labelling, label positif mendapatkan tingkat recall yang sangat tinggi, yang dapat diartikan model GoogleNLP mampu melabeli data sentimen positif dengan karakteristik yang sama dengan model IndoBERT. Sedangkan tingkat recall paling rendah yaitu pada label negatif namun tingkat presisi yang didapatkan paling tinggi, dapat diartikan GoogleNLP mampu menandai data sentimen positif dengan karakteristik nada atau tone yang sama namun tidak seragam dengan model IndoBERT.
Kesimpulan
Dari hasil yang telah didapatkan, secara umum, analisis sentimen dapat dimanfaatkan untuk mengetahui persepsi pebelajar secara umum terhadap pembelajaran. Analisis sentimen tidak dapat memberikan informasi yang komprehensif terhadap persepsi proses pembelajaran. Meskipun demikian, hasil sentimen gathering dapat dijadikan acuan mendasar bagi para pembelajar untuk mengetahui sentimen pebelajara dalam kerangka yang lebih asbtrak. Diperlukan analisis mendalam terhadap hasil sentimen yang dilakukan oleh model NLP untuk mendapatkan pandangan yang lebih dalam terhadap persepsi pembelajaran.
Analisis persepsi dapat dilakukan baik dengan googleNLP maupun indoBERT. Tingkat akurasi dan presisi yang cukup tinggi menjadikan kedua model tersebut dikatakan reliabel dan andal dalam memberikan label sentimen dari sebuah data hasil pembelajaran.
Saran untuk case study berikutnya ialah ketersediaan data yang telah dianotasi oleh manusia, khususnya pembelajar sebagai data referensi. Selain itu, pemeringkatan kata dengan opini negatif maupun positif dapat dilakukan secara sederhana untuk mengetahui point of pain atau point of joy dari para pebelajar.
Berawal dari sebuah rutinitas untuk datang di sebuah tempat tertentu dalam jangka waktu yang terlalu lama, berakhir dengan wadah untuk saling merekonstruksi pengetahuan dengan cara yang sampah namun autentik. Learning Center yang saya maksud ini ialah sebuah gazebo yang terletak di depan gedung D5 Universitas Negeri Malang. Learning Center bukanlah sebuah nama resmi dari gazebo tersebut, melainkan panggilan akrab kepada gazebo tersebut. Berawal dari seringnya mahasiswa yang berdiskusi tentang matakuliah, skripsi, hingga konspirasi hingga menjadi wadah transaksi pengetahuan non-formal.
Rekonstruksi Pengetahuan tidak dapat terjadi melalui membaca, belajar dan berusaha secara mandiri, melainkan dengan mendapat pengetahuan dari individu lain. Pertanyaan pertanyaan konyol yang terlontar di kepala dan dijawab oleh berbagai orang dengan sudut pandang yang berbeda – beda, akan sangat asik untuk menderngarnya, lebih menantang jika ada yang berdebat jika memiliki pov yang terpolarisasi. Hal – hal tersebut sering terjadi dan bahkan selalu terjadi di Learning Center (LC).
Fasilitas yang tersedia sangatlah mumpuni, ditunjang dengan lokasi yang sangat strategis untuk melakukan observasi. Stop kontak, WiFi, tanaman hijau menjadi hal yang ekslusif, bahkan tingkat kebisingan yang sangat rendah hadir dengan sendirinya. LC menjadi pilihan untuk menjadi wadah diskusi dan debat terbuka bagi penghuninya. Namun, dalam beberapa momen, hujan dan malam hari menjadi tantangan tersendiri, seperti nyamuk, dan kamar kecil yang cukup jauh.
Ada jargon yang cukup konyol di LC, yaitu Mewadahi para domba – domba tersesat yang tidak tahu arah jalan keluar, tapi bukan jalan pulang. Berkumpul terlihat saling menghujat, pulang – pulang bawa pikiran masing – masing. LC terdesain sejak awal sebagai tempat pelabuhan sementara orang – orang yang tersesat, tidak pernah ada penghuni yang selalu ada dan akan hadir jika dibutuhkan.
“People Come and Go”
Terkesan konyol, LC secara tidak langsung menerapkan konsep bahwa pengetahuan ialah barang yang tidak menetap, kaku, dan rigid. Pengetahuan hadir dari berbagai arah dan latar belakang. Penghuni LC ialah sumber pengetahuan dan LC merupakan wadah para sumber pengetahuan tersebut untuk berbagi, menerima dan memadupadankan. Memang di beberapa moment, hanya segelintir sumber pengetahuan yang mengemukakakan pengalaman dan ilmu yang mereka miliki. Terkesan kontrakdiktif dengan konsep rekonstruksi pengetahuan namun sebenarnya tidak, pendengar yang hadir di LC mungkin yang menjadi subjek rekonstruksi pengetahuan.
The goal of Learning Center (eLCi) is to provide free and unrestricted access to all scientific & garbage knowledge.
Jika dikatakan hanya orang pintang yang ada di LC, tidak sepenuhnya benar. Jika dikatakan orang yang ingin belajar akan datang ke LC, itu yang diharapkan. Semakin seseorang merasa tidak tahu tentang sebuah hal, semakin banyak orang itu belajar. Di LC, ada dua kemungkinan effect yang hadir, yaitu Dunning-Kruger Effect & Impostor Syndrome. Selebihnya, mungkin belum ada. Pentingnya rekonstruksi pengetahuan di LC ialah secara tidak sengajar untuk menghindarkan orang – orang dari dua efek ini.
Sejatinya, dibalik dua efek tersebut, LC menjadi wadah untuk melakukan meninjau kembali pengetahuan yang telah didapat, kembali lagi kepada penghuni LC, yaitu mahasiswa yang sedang berjuang skripsi, proses meninjau kembali hasil pengerjaan skripsi sering hadir di LC. Contoh paling sederhana yaitu menanyakan tentang garapan topik skripsi maupun apa yang sedang dikerjakan. Terkesan sederhana, penghuni yang hadir di LC, setidaknya satu kali di setiap hari, akan meninjau ingatannya meskipun hanya sekilas.
Kembali lagi, sebenarnya apa fungsi Learning Center? by design, tidak ada fungsi atau tugas khusus yang dimiliki oleh LC. Apakah LC itu nyata? by design, Tidak. LC hanyalah sebuah nama tempat fiktif yang hadir ketika orang – orang berkumpul dan saling bertukar pengetahuan dan merekonstuksinya. Namun konsep dan peristiwa – peristiwa yang hadir di lingkungan LC menjadi sebuah keunikan yang dimiliki oleh mahasiswa TEP dalam berbagi pengetahuan dan mencampuradukkannya menjadi sebuah adonan. Tidak ada hal ekslusif di dalam LC, yang menjadikannya hal ekslusif ialah keterbukaan dalam membagikan pengalaman, pengetahuan dan membuka pengetahuan.